TUGAS SISTEM HUKUM INDONESIA
Tentang
RINGKASAN BUKU SISTEM HUKUM
INDONESIA
Oleh:
ATIL KURNIA SARI
1106437 / 2011
Jurusan Ilmu
Sosial Politik
Prodi Ilmu
Administrasi negara
Fakultas
Ilmu Sosial
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2013
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Sistem Hukum sebagai Bagian dari Sistem
Norma
B.
Hukum Indonesia sebagai Sistem Norma
yang Berlaku di Indonesia
C.
Sumber Hukum Indonesia
1. Pancasila
2. Undang-undang
Dasar 1945
3. Undang-undang
4. Traktat
atau treaty
5. Doktrin
BAB II SISTEM HUKUM
INDONESIA
A.
Hukum Kepidanaan
1. Hukum
Pidana
2. Hukum
Acara Perdata
B.
Hukum Keperdataan
1. Hukum
perdata
a. Kedudukan
orang dalam hukum perdata
b. Kedudukan
benda dalam hukum perdata
c. Prinsip-prinsip
perikatan dalam hukum perdata
2. Hukum
acara perdata
a. Sumber
hukum acara perdata
b. Prinsip-prinsip
hukum acara perdata
c. Alat
bukti persidangan
d. Petusan
dalam acara perdata
C.
Hukum Kenegaraan
1.
Hukum tata negara
2.
Hukum tata pemerintahan
a. Subjek
hukum tata pemerintahan
b. Sumber
hukum tata pemerintahan
c. Prinsip
hukum tata pemerintahan
d. Materi
hukum tata pemerintahan
D.
Hukum Internasional
1. Definisi
hukum internasional
2. Sumber
hukum internasional
3. Dasar
berlakunya hukum internasional
4. Subjek
hukum internasional
5. Materi
hukum internasional
6. Implementasi
HI dalam pergaulan antarbangsa
E.
Hukum Agraria
1. Susunan
dan materi undang-undang pokok agraria
2. Isu-isu
utama dalam masalah keagrariaan
F.
Hukum Adat
1. Sumber
hukum adat
2. Sejarah
hukum adat
a. Sejarah
penemuan hukum adat
b. Sejarah
politik hukum adat
BAB III HUKUM,
PERUBAHAN, DAN PENEGAKANNYA
A.
Hukum dan perubahannya
B.
Penegakan hukum
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
SISTEM
HUKUM SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM NORMA
Bekerjanya
sistem norma bagi manusia adalah bagaikan pakaian hidup yang membuat manusia
merasa aman dan aman dalam menjalani tugas hidupnya.
Sistem
norma yang berlaku bagi manusia sekurang-kurangnya terdiri atas 4 unsur norma,
yakni norma moral, norma agama, norma etika atau norma sopan santun serta norma
hukum. Keempat norma kehidupan tersebut berjalan secara sistemik, simultan, dan
komplementer bagi manusia,artinya saling bertautan dan saling melengkapi,
antara yang satu dengan yang lainnya.
Norma
moral adalah sitem aturan yang berlaku bagi manusia yang bersumber dari setiap
hati manusia atau yang sering di sebut juga dengan hati nurani yang bekerja
atas dasar kesadaran setiap manusia terhadap sekelilingnya. Artinya, setiap
manusia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa sebuah organ yang mampu menjadi neraca
pertimbangan yang setiap saat memberi pertimbangan atas apa yang diperbuatnya. Sistem
norma bekerja secara otonom, artinya sistem norma bekerja mandiri pada setiap
diri manusia.
Norma
agama adalah sistem aturan yang di peroleh manusia berdasarkan ajaran agama
yang di anutnya. Sumber agama berasal dari tuhan yang diperoleh atau yang
diturunkan atau disebarluaskan melalui para nabi dan rasul-nya. Alat pengontrol
norma agama adalah janji serta sanksi Tuhan Yang Maha Esa berupa pahala bagi
manusia yang melaksanakan ajarannya dan dosa bagi manusia yang ingkar terhadap
ajaran agamanya.
Norma
etika atau norma sopan santun adalah sistem aturan hidup manusia yang bersumber
dari kesepakatan-kesepakatan yang diciptakan oleh dan dalam suatu komunitas
masyarakat pada suatu wilayah tertentu. Ukuran norma etika pada dasarnya berupa
kepatuhan, kepantasan dan kelayakan yang tumbuh di masyarakat atau komunitas
manusia tersebut. Apabila terjadi pelanggaran atas etika, maka masyarakatlah
yang akan memberikan reaksi berupa tindakan secara hukuman.
Norma
hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang
ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan
oleh institusi yang memang memiliki kompetensi atau kewenangan dalam membentuk
dan memberlakukan hukum, yaitu badan legislatif.
B. HUKUM INDONESIA SEBAGAI SISTEM
NORMA YANG BERLAKU DI INDONESIA
Istilah hukum
indonesia sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk pada
sistem norma yang berlaku dan atau diberlakukan di indonesia. Hukum indonesia
adalah hukum, sistem norma atau sistem aturan yang berlaku diindonesia. Sebagai
suatu sistem, hukum indonesia terdiri atas su-subsistem atau elemen-elemen
hukum yang beraneka, antara lain hukum tata negara, hukum perdata, hukum
pidana, serta hukum internasional.
C.
SUMBER
HUKUM INDONESIA
1.
Pancasila
Pancasila sudah menjadi ketentuan
ketatanegaraan sebagai suatu kesepakatan serta doktrin kenegaraan, bahwa
pancasila adalah pandangan hidup, ideologi bangsa indonesia serta “sumber
segala sumber hukum” indonesia. Artinya, bahwa pancasila adalah pandangan
hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak
dari rakyat negara yang bersangkutan serta menjadi tempat berpijak atau
bersandar bagi setiap persoalan hukkum yang ada atau yang muncul di indonesia,
tempat menguji keabsahan baik dari sisi filosofis maupun yuridis.
Dalam konteks pancasila sebagai sumber
segala sumber hukum , kita uji dengan
teori pakar hukum kenegaraan hans kelsen tentang hierarki norma yang berlaku
disuatu negara, yang lazim di anallogikan dengan Tori tangga, atau stuffen
theory.
Berdasarkan tesis hans kelsen, maka
kedudukan pncasila berada pada tangga tertinggi. Hal ini berarti bahwa
pancasila harus diletakkan sebagai kaidah dasar, groundnorms atau sumber segala
sumber hukum yang menjadi dasarbagi berlakunya UUD 1945.
2.
Undang-undang
Dasar 1945
Undang undang dasar 1945 merupakan
perwujudan dari tujuan proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 yang
terdiri atas pembukaan dan batang tubuh.
3.
Undang-Undang
Secara yuridis (dalam perspektif hukum)
undang undang memiliki dua makna, yakni:
a. Undang
–undang secara formal adalah setiap bentuk peraturan perundangan yang
diciptakan oleh lembaga yang berkompeten dalam pembuatan undang-undang yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
b. Undang-undang
secara Material adalah setiap produk hukum yang memiliki fungsi regulasi
(pengaturan), yang bersumberkan seluruh dimensi kehidupan manusia, ekonomi,
politik sosial, budaya, kesehatan, agama, dan dimensi kehidupan lainnya. Bentuknya
bisa bertingkat, mulai dari Undang-undang Dasar sampai ke peraturan tingkat
desa.
4.
Traktat
atau Treaty
Traktat atau treaty adalah produk hukum
yang diciptakan dalam konteks hubungan antar negara. Oleh karena itu traktat
bisa berupa:
a. Traktat
bilateral yang diciptakan oleh dan melibatkan dua negara.
b. Traktat
multilateral yaitu perjanjian antarnegara yang melibatkan lebih dari dua
negara.
Traktat menjadi sangat penting sebagai
sumber hukum, karena traktat merupakan referensi bagi setiap negara pada
terjadi sengketa antarnegara.
5.
Doktrin
atau pendapat para ahli hukum
Doktrin atau pendapat para ahli hukum
merupakan sumber hukum yang sangat penting bagi ilmu hukum dan perkembangannya,
karena kemajuan pemikiran tentang hukum sangat tergantung antara lain kepada
pendapat yang dikemukakan para ahli hukum untuk menyikapi fenomena yang terjadi
setiap waktu.
Doktrin bisa dikemukakan dalam
berbagai forum, seperti penelitian, seminar atau dengan penerbitan buku yang
membahas suatu topik, atau fenomena hukum tertentu.
BAB II
SISTEM HUKUM INDONESIA
Sistem
hukum indonesia sebagai sebuah sitem aturan yang berlaku di negara indonesia adalah
sistem aturan yang sedemikian rumit dan luas, yang terdiri atas unsur-unsur
hukum, dimana di antara unsur hukum yang satu dengan yang lain saling
bertautan, saling pengaruh mempengaruhi serta saling mengisi.
A. HUKUM KEPIDANAAN
Hukum
kepidanaan adalah sistem aturan yang mengatur semua perbuatan yang tidak boleh
dilakukan (yang dilarang untuk dilakukan) oleh setiap warga negara indonesia
disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan pidana tersebut serta
tata cara yang harus dilalui bagi para pihak yang berkompeten dalam
penegakannya.
Dalam
kehidupan manusia, ada perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh
manusia karena bertentangan dengan:
1) Hak
Asasi Manusia (HAM)
2) Kepentingan
masyarakat umum atau kepentingansosial
3) Kepentingan
pemerintah dan negara
Dari
isi atau materi yang diatur, hukum kepidanan terdiri atas hukum pidana umum dan
hukkum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dari sisi
subjuk atau pelaku hukumnya serta dari jangkauan berlakunya mengatur seluruh
manusia yang berada pada wilayah insonesia, tanpa pengecualian. Hukum pidana
umum pada prinsipnya bsebagaimana diatur dalam kitab Undang-undang hukum
pidana(KUHP).
Hukum
pidana khusus adalah hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang yang mempunyai
kualifikasi khusus atau tertentu di wilayah indonesia.
1.
Hukum
Pidana
Hukum
pidana yang akan dibahas adalah hukum pidana material, yaitu hukum pidana yang
dilihat dari isinya bersifat mengatur secara terinci (detail) terhadap semua perbuatan
yang dilarang bagi setiap orang atau kalangan tertentu. Sumber hukum pidana
(material) yang paling utama adalah kitab undang-undang hukum pidana( KUHP),
Prinsip-prinsip
hukum pidana yang menjadi pedoman,baik dalam menyusun peraturan perundangan
maupun digunakan dalam penegakan hukum, antara lain:
1) Prinsip
hukum pidana berdasarkan tempat, yang lebih dikenal dengan prinsip teritorial,
yakni bahwa berlakunya hukum pidana dibatasi oleh wilayah kedaulatan suatu
negara. Perluasaan dari prinsip terotorial antara lain:
a) Prinsip
Universal
b) Prinsip
Nasionalitas Aktif
c) Prinsip
Nasionalitas Pasif
2) Prinsip
hukum pidana berdasar orang atau lazim disebut prinsip personal, yakni bahwa
hukkum pidana berlaku bagi orang perorangan. Prinsip personal yang tersirat
dalam aturan hukum pidana antara lain:
a) Geen
straaf zonder schuld atau tidak dipidana seseorang tanpa kesalahan
b) Alasan
pembenar
c) Alasan
pemaaf
d) Alasan
penghapus hukuman
e) Ne
Bis in Idem
3) Prinsip
hukum pidana berdasarkan waktu, yang sering disebut sebagai prinsip atau asas
legalitas, yang bermakna bahwa tidak suatu pun perbuatan dapat dipidana kecuali
telah diatur sebelumnya. Prinsip hukum ini tersirat dalam pasal 1 ayat 1 kitab
Undang-undang hukum pidana (KUHP). Pengertian atas ayat tersebut bisa
dijabarkan antara lain dengan prinsip:
a) ‘nullum
delictum noela poena lege praevia
b) Undang-undang
tidak berlaku surut
c) ‘Lex
temporis delicti’atau undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada
saat itu.
2.
Hukum
Acara Pidana
Hukum
acara pidana adalah hukum pidana yang mengatur tata cara menegakkan hukum
pidana material, artinya apabila terjadi pelanggaran hukum pidana material,
maka penegakkannya menggunakan hukum pidana formal. Istilah yang lazim
digunakan untuk hukum ini adalah’hukum acara pidana’, yakni hukum yang mengatur
tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat beracara di muka
poengadilan pidana.
Sumber
hukum acara pidana yang berlaku bagi indonesia, antara lain:
a. Undang-undang
nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang acara pidana (KUHAP)
b. Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002 tentang Pokok-pokok Kepolisian
c. Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1991 tentang pokok kejaksaan
d. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang telah
mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999
e. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
f. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Prinsip-prinsip
hukum acara pidana yang tercantum dalam KUHAP dan harus menjadi acuan dalam
pelaksanaan serta penegakan hukum pidana antara lain:
a. Prinsip
peradilan berdasarkan ‘demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa’
b. Prinsip
‘larangan campur tangan pihak luar terhadap dan dalam urusan peradilan’
c. Prinsip
‘kesamaan di muka hukum’
d. Prinsip’
pemeriksaan berdasarkan majelis hakim’
e. Prinsip
praduga tidak bersalah.
f. Prinsip’
pemberian bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia’
B. HUKUM KEPERDATAAN
Hukum
keperdataan adalah sistem aturan yang mengatur tentang berbagai hubungan
manusia konteks kedudukannya sebagai individu terhadap individu yang lain.
Dilihat
dari materi yang diatur, hukum keperdataan dibagi menjadi dua bagian utama,
yaitu: hukum perdata dan hukum acara perdata.
1.
Hukum
Perdata
Hukum
perdata adalah hukum atau sistem aturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban
orang dan badan hukum sebagai perluasan dari konsep subjek hukum yang satu
terhadap yang lain baik dalam hubungan keluarga maupun dalam hubungan
masyarakat.
Dalam
disiplin ilmu hukum sering dipisahkan adanya dua jenis hukum yang berlaku di
indonesia, yakni hukum perdata tertulis ( yang berasal dari hukum perdata eropa
) dan hukum perdata tak tertulis (yang berasal dari hukum adat).
a.
Kedudukan
Orang dalam Hukum Perdata
Orang
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum perdata, karena ia menjadi
subjek hukum utama atau menjadi pelaku setiap perbuatan hukum, yang secara
otomatis diberikan sejak seseorang lahir ke dunia (naturlijke person).
Beberapa
prinsip hukum perdata yang berkaitan dengan kedudukan orang dalam hukum
perdata, antara lain:
a) Prinsip
perlindungan hak asasi manusia (pasal 1 ayat 3 KUH perdata)
b) Prinsip
setiap orang harus memiliki nama dan tempat tinggal (prinsip domisili)
c) Prinsip
perlindungan bagi orang-orang yang tidak memiliki kecakapan bertindak (tidak
memiliki kecakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum)
d) Prinsip
monogomi dan poligami dalam perkawinan
e) Prinsip
bahwa suami adalah kepala keluarga.
b.
Kedudukan
Benda dalam Hukum Perdata
Benda
dalam perspektif hukum perdata memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan
manusia karena ia menjadi sarana utama dari pencapaian kesejaahteraan hidup
setiap orang.
Pengaturan
tentang fungsi benda didasarkan atas pembagian atas benda bergerak dan benda tak
bergerak, yang mempunyai akibat atau konsekuensi yang sangat penting dalam
huku.
Beberapa
prinsip hukum kebendaan yang menjadi pedoman dalam hukum kebendaan adalah:
a) Prinsip
pembagian hak manusia kedalam hak kebendaan dan hak perorangan.
b) Prinsip
hak milik fungsi sosial
Dengan
di berlakukannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok agraria,
semua hak-hak kebendaan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah, telah diganti
kecuali peraturan tentang hipotek dan fiducia yang masih berlaku hingga sekarang.
c.
Prinsip-prinsip
Perikatan dalam Hukum Perdata
Perikatan
merupakan salah satu tata cara berhubungan secara hukum yang sangat penting
dalam perspektif hukum perdata, karena dengan perikatan setiap orang sebagai
subjek hukum dapat berhubungan dengan orang lain secara sah dan terlindungi
kepentingannya.
Prinsip-prinsip
perikatan antara lain:
a) Prinsip
kebebasan bertindak
b) Prinsip
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik
c) Prinsip
perjanjian adalah undang-undang bagi mereka yang membuatnya
d) Prinsip
semua harta kekayaanseseorang menjadi jaminanatau tanggungan bagi semua
utang-utangnya.
e) Prinsip
acto pauliana
2.
Hukum
Acara Perdata
Disamping hukum perdata materiel (yang
isinya mengatur tentang hak dan kewajiban orang dan badan hukum dalam konteks hubungan
antarperorangan), terdapat hukum perdata formal atau lebih dikenal hukum acara
perdata, yakni hukum yang mengatur tentang tata cara penegakan hukum perdata material
atau dengan istilah lain, hukum yang mengatur tentang tata cara beracara di
muka pengadilan (perdata).
a.
Sumber
Hukum Acara Perdata
Sumber hukum acara perdata yang paling
utama antara lain:
(a) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang telah
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
(b) Herziene
indlans reglemen (HIR) atau reglemen bumi putera yang diperbarui yang
dikeluarkan oleh pemerintah hindia belanda staadblad No.44 Tahun 1941 serta
hukum acara bagi masyarakat jawa dan madura ( recht buiten gewesten (RBg) Tahun
1943).
(c) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang mahkamah agung.
(d) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum.
b.
Prinsip-prinsip
Hukum Acara Perdata
Implementasi dari hukum acara perdata
didasarkan atas prinsip-prinsip atau asas-asas hukum acara perdata yang dikenal
luas di kalangan peradilan perdata, sebagai berikut:
(a) Hakim
bersifat menunggu
(b) Hakim
dilarang menolak perkara
(c) Hakim
bersikap aktif
(d) Hakim
harus mendengar kedua belah pihak
(e) Putusan
harus disertai alasan
(f) Peradilan
bersifat sederhana, cepat dan berbiaya ringan(murah)
(g) Peradilan
berjalan objektif
(h) Hakim
tidak menguji undang-undang( menguji tidak dikenal)
c.
Alat
Bukti Persidangan
Alat bukti yang bisa disampaikan
para pihak menurut sudikno mertokusumo (1981: 93-150) meliputi:
(a)
Alat bukti tertulis
(b)
Kesaksian
(c)
Pengakuan
(d)
Persangkaan
(e)
Sumpah
Dalam
hukum acara perdata dikenal 3 macam sumpah, yaitu:
(1) Sumpah
suppletoir
(2) Sumpah
estimatoir
(3) Sumpah
decisoir
d.
Putusan
dalam Hukum Acara Perdata
C. HUKUM KENEGARAAN
Hukum
kenegaraan adalah sistem aturan yang mengatur tata cara penyelenggaraan kehidupan
bernegara. Dengan bahasa lain hukum kenegaraan adalah hukum politik dalam arti
‘hukum yang mengatur tata cara kehidupan politik suatu negara’. Dalam
perkembangan hukum saat sekarang ini, hukum kenegaraan sering disebut dengan
hukum politik.
Ruang
lingkup hukum kenegaraan meliputi masalah bentuk, dasar serta sistem mekanisme
penyelenggaraan kenegaraan. Hukum kenegaraan terbagi atas Hukum Tata Negara dan
Hukum Tata Pemerintahan, yang dalam kajian ilmu sering disebut dengan Hukum
Administrasi Negara (HAN) atau Hukum Tata Usaha Negara (HTUN).
1.
Hukum
Tata Negara
Hukum
tata negara merupakan hukum yang mengatur organisasi negara atau organisasi
kekuasaan suatu negara beserta segala aspek yang berkaitan dengan negara.
Terdapat
beberapa pengertian yang diberikan oleh
para pakar hukum mengenai hukum tata negara, sebagai berikut:
(a) Menurut
Scholten, adalah: “Hukum yang mengatur organisasi negara. Dalam organisasi
negara yang dimaksud telah mencakup kedudukan organ-organ dalam negara,
hubungan-hubungannya, hak dan kewajiban serta tugasnya masing-masing”.
(b) Wade
and Phillips merumuskan, bahwa Hukum Tata Negara Adalah hukum yang mengatur
alat-alat perlengkapan negara, tugasnya dan hubungan antara alat pelengkap
negara itu.
(c) Hans
Kelsen mengartikan hukum tata negara dengan menggunakan istilah” mengatur
proses kenegaraan dalam keadaan diam.
Sumber
hukum tata negara yang menjadi tempat mencari rujukan tentang aturan-aturan
kenegaraan adalah:
(1) Undang-Undang
Dasar 1945
(2) Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(3) Undang-Undang
(4) Peraturan
Perundangan lainnya
(5) Kebiasaan
Ketatanegaraan
(6) Traktat
atau treaty
2.
Hukum
Tata Pemerintahan
Hukum
Tata Pemerintahan adalah sistem aturan yang pada dasarnya merupakan konsekuensi
lebih lanjut atas diaturnya hukum tata negara, yaitu mengatur hal ikhwal
pelaksanaan atas kehidupan bernegara, yang meliputi aturan tentang bagaimana
para aparat lembaga-lembaga negara tersebut menjalankan tugas pemerintahan.
Hans Kelsen mengungkapkan bahwa hukum tata pemerintahan adalah hukum tata
negara dalam kondisi negara dinamis (state in dinamics).
Penamaan
hukum tata pemerintahan di Indonesia relatif beragam karena berkisar antara
hukum tata pemerintahan, hukum administrasi negara serta hukum tata usaha
negara. Hal ini bisa dipahami karena penamaan tersebut bersumber dari istilah
‘administratiefrecht’, di mana kata ‘administrasi’ bisa diartikan sebagai
administrasi atau tata usaha negara dalam arti luas. Dengan demikian dapatlah
‘Adminis¬tratiefrecht’ diterjemahkan menjadi Hukum Administrasi Negara atau
Hukum Tata Usaha Negara (Faried Ali, 1996:4).
Penggunaan
istilah Hukum Tata Pemerintahan dan sejenisnya di lembaga-lembaga pendidikan
tinggi pun beragam. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Fakultas Ilmu-Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin dan Uni¬versitas Airlangga
menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan. Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin dan Lembaga Administrasi Negara menggunakan istilah hukum
Administrasi Negara. Sementara Dalam Negeri Jatinangor pernah mempergunakan
istilah Hukum Tata Usaha Negara sebelum akhirnya digunakan istilah Hukum Tata
Pemerin-tahan sebagai salah satu mata kuliah yang wajib dipelajari para
mahasiswa (Praja). Dari ketiga istilah di atas, terdapat kesamaan objek yang
menjadi sasaran pengaturan, yaitu tugas-tugas pemerintahan yang dilakukan
aparatur pemerintahan.
Pada
prinsipnya Hukum Tata Pemerintahan adalah sistem hukum yang mengatur bagaimana
para aparatur negara dan pemerintahan menjalankan tugas dan kewajiban
pemerintahan. Faried Ali (1996:2) menyatakan hukum tata pemerintahan mengkaji
kekuasaan aparatur pemerintah dan perbuatan yang dapat melahirkan hak dan
kewajiban.
a.
Subjek
Hukum Tata Pemerintahan
Subjek
hukum tata pemerintahan adalah:
(1) Pegawai
Negeri yang terdiri atas pegawai negeri sipil, tentara, polisi serta pegawai
Badan Usaha Milik Negara;
(2) Jabatan-jabatan,
yang disusun berdasarkan fungsi serta susunan organisasi publik;
(3) Jawatan
publik, dinas-dinas publik, badan usaha milik negara dan daerah;
(4) Daerah
Otonom;
(5) Negara.
b.
Sumber
Hukum Tata Pemerintahan
Sumber
hukum tata pemerintahan antara lain:
(1) Undang-undang,
yaitu berbagai undang-undang yang mengatur kehidupan pemerintahan, misalnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih
serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 yo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian.
(2) Pelaksanaan
pemerintahan, yaitu berbagai bentuk keputusan pejabat negara dan pemerintahan
yang bisa dijadikan landasan hukum berikutnya.
(3) Yurisprudensi
yang berkaitan dengan pemerintahan.
(4) Doktrin
atau pendapat para ahli tata pemerintahan yang terkemuka, yang berupa hasil
pemikiran yang bernas tentang berbagai aspek hukum tata pemerintahan,
gejala-gejala hukum yang muncul serta sengketa-sengketa yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
c.
Prinsip
Hukum Tata Pemerintahan
Prinsip-prinsip
hukum tata pemerintahan yang menjadi dasar atau pedoman dalam pembentukan hukum
dan praksis pemerintahan menurut Faried Ali (1996:52-57) antara lain:
(1)
Prinsip Legalitas (Legality Principle.)
yaitu prinsip yang merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, yang
menyatakan bahwa setiap perbuatan, tindakan dan atau kebijakan aparatur
pemerintah harus didasarkan pada hukum yang berlaku.
(2)
Prinsip Oportunitas (Oportunity
principle) atau disebut juga dengan prinsip diskresi (Prajudi 1983), yaitu
prinsip bahwa pejabat pemerintahan dalam melakukan pengambilan keputusan
memiliki kebebasan yang dilandasi kebijaksaan. Prinsip oportunitas atau
diskresi disebut pula dengan prinsip Freies Ermessen (Bachsan Mustofa, 1985).
Prinsip atau asas ini merupakan implementasi dari penggunaan wewenang yang
bersifat istimewa yang dimiliki oleh aparatur pemerintah. Kebebasan yang
dimiliki oleh aparatur pemerintah adalah kebebasan pada sasaran yang dicapai
atau manfaat yang ingin diraih. Istilah yang digunakan untuk manfaat yang ingin
dicapai adalah doelmatigheid. Prinsip oportunitas dalam pelaksanaannya harus
dilaksanakan berdasarkan prinsip legalitas. Artinya, kebebasan untuk proses
pengambilan keputusan harus dilandasi oleh hukum yang berlaku bagi aparatur
pemerintah.
(3)
Prinsip Adaptasi, yaitu prinsip hukum
yang menghendaki agar setiap pejabat pemerintahan dalam proses pengambilan
keputusan selalu diberi kesempatan untuk mengadakan perubahan, sebagai langkah
penyesuaian bagi dirinya terhadap tugas-tugas yang dihadapinya;
(4)
Prinsip Kontinuitas, yaitu prinsip hukum
yang menghendaki adanya jaminan keberlangsungan suatu keputusan yang telah
ditandatangani terdahulu tetap berlaku walaupun pejabat tersebut telah diganti.
(5)
Prinsip Prioritas, yaitu prinsip tata pemerintahan
yang memberi perlindungan serta mengutamakan pada kepentingan umum. Makna
prinsip ini adalah bahwa jabatan aparatur pemerintah dalam pengambilan
keputusan harus selalu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan
perorangan atau kepentingan lainnya.
(6)
Prinsip Keseimbangan, yaitu bahwa dalam
setiap tindakan dan kebijakan pejabat pemerintahan harus menguta¬makan
keseimbangan antara hak dan kewajiban baik dalam tataran individual maupun
dalam tataran sosial (menjangkau lapisan yang luas).
(7)
Prinsip Kesamaan (Equality principle),
yaitu prinsip hukum yang mewajibkan bagi setiap pejabat pemerintahan dalam
setiap tindakan dan kebijakannya didasarkan atas penempatan dirinya sama dengan
pihak lain.
(8)
Prinsip Motivasi, yaitu prinsip hukum
yang menghendaki agar setiap pejabat pemerintah agar dalam setiap tindakan dan
kebijakannya terkandung dorongan yang kuat berdasarkan argumentasi (alasan)
serta berdasarkan motivasi yang benar dan kuat.
(9)
Prinsip Bertindak Cermat, yaitu prinsip
hukum yang menuntut agar setiap pejabat pemerintah dalam setiap tindakannya
didasarkan atas ketelitian dan kecermatan. karena setiap tindakannya tidak
hanya berakibat bagi dirinya sendiri tetapi juga berakibat bagi pihak lain dan
memiliki dampak yang luas.
(10)
Prinsip Tidak Boleh Mencampuradukkan
Kewenangan, yaitu prinsip hukum bahwa dalam setiap tindakannya, setiap pejabat
pemerintahan tidak boleh mencampuradukkan kewenangan-kewenangan yang
dimilikinya dengan pejabat atau lembaga yang lain. Prinsip ini sering di-sebut
pula dengan Prinsip Exes de Pouvoir. .
(11)
Prinsip Permainan yang Lay ok (Pair Play
Principle), yaitu prinsip hukum yang menekankan agar dalam setiap tindakannya,
aparatur pemerintah senantiasa meng-ikuti aturan yang layak dengan memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk mencari kebe-naran dan
keadilan atas tindakan yang telah diambilnya.
(12)
Prinsip Keadilan atau Prinsip Kewajiban,
yaitu prinsip hu¬kum yang menekankan bagi setiap pejabat pemerintah agar setiap
tindakan dan kebijakannya senantiasa didasarkan atas keadilan dan menghindari
kesewenang-wenangan. Prinsip ini memiliki akibat, apabila terjadi
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kewe¬nangan berakibat dapat
dibatalkannya tindakan atau kebijakan yang dibuat pejabat pemerintah. Prinsip
hukum ini juga disebut dengan Prinsip Tidak Boleh Melakukan Detournement de
Pouvoir.
(13)
Prinsip Menanggapi Pengharapan yang
Wajar, yaitu prinsip hukum yang menekankan agar pejabat pemerintah dalam setiap
tindakannya terdorong untuk senantiasa memperhatikan harapan-harapan atau aspirasi
yang tumbuh di kalangan masyarakat pengguna jasa pemerintahan.
(14)
Prinsip Peniadaan Akibat-akibat Suatu
Keputusan, yaitu prinsip hukum yang menuntun agar setiap tindakan dan
kebijakannya, pejabat pemerintah senantiasa harus memperhifungkan secara persisten
setiap keputusan yang diambil sebagai usaha untuk menghindari akibat-akibat
buruk yang timbul darinya.
(15)
Prinsip Perlindungan Pandangan Hidup,
yaitu prinsip hukum yang menghendaki para pejabat pemerintah untuk se¬nantiasa
memberikan perlindungan terhadap pandangan hidup rakyatnya dalam setiap
tindakan dan kebijakan yang diambilnya.
d.
Materi
Hukum Tata Pemerintahan
Materi hukum
tata pemerintahan adalah materi peraturan perundangan yang dipergunakan untuk
menyelenggarakan pemerintahan di Indonesia. Materinya yang utama antara lain:
(1) Hukum tata penyelenggaraan
pemerintahan yang terdiri atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN), yang lebih populer dengan undang-undang tentang Otonomi
Daerah. Ketiga undang-undang tersebut merupakan satu himpunan yang dijadikan
sebagai acuan dan rujukan utama penyelenggaraan pemerintahan saat ini yang
mengalami pergeseran paradigma pemerintahan yang sangat signifikan, dari semula
sangat sentralistis, atau memihak ke pusat menjadi desentralistis yaitu
memberikan keluasan daerah untuk mengurus dan mengembangkan daerah sebagai
pusat pertumbuhan.
(2) Hukum Agraria, yang
dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
Mengingat luas dan relevannya hukum agraria, pada bagian berikutnya dibahas
tersendiri.
(3) Hukum Kepegawaian, yang
dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan telah disempurnakan oleh
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985, yang pada prinsipnya mengatur mekanisme
perekrutan, pembinaan serta pengembangan pegawai sebagai aset dan pelaku utama
hukum tata pemerintahan.
(4) Hukum Pajak yang landasan
utamanya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pajak. Pajak
didefinisikan secara beragam oleh para pakar hukum pajak dan praktisi pajak.
Edwin Seligman (dalam San-toso Brotodihardjo, 1998:3) menyatakan bahwa “tax is
compulsery contribution from the person, to the government to defray the
expenses incurred in the common interest of all without reference to special
benefit conferred.” Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya “Pajak
Berdasarkan Asas Gotong Royong” di Unpad Bandung 1964 menya¬takan bahwa “Pajak
adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.” Sementara Rochmat
Soemitro dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan menyatakan
bahwa “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) de-ngan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
” Dari definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa ciri-ciri pajak adalah:
(1) Pajak dipungut berdasarkan
atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya;
(2) Dalam pembayaran pajak,
tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah;
(3) Pajak dipungut oleh negara
baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; pajak diperuntukkan bagi
pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
Pajak sebagai salah satu andalan pemasukan negara untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan negara dari waktu ke waktu mengalami perubahan baik dalam struk-tur perpajakan maupun dalam mekanisme pengelolaannya.
Sumber hukum pajak yang menjadi
dasar dan pedoman bagi berbagai kalangan perpajakan, baik praktisi (pelaksana
perpajakan) maupun pakar hukum, antara lain:
(a) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah
diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 dan diubah untuk
kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
(b) Undang-Undang
17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.
(c) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
(d) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 yang meru-pakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
(e) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
(5) Hukum
tentang Investasi (Penanaman Modal) baik dalam negeri maupun asing. Investasi
atau penanaman modal baik yang dilakukan oleh investor domestik mau¬pun asing,
sangat diharapkan oleh pemerintah selaku penyelenggaraan kehidupan negara.
Investasi oleh Ismail Sunny (1983:14) diyakini akan mampu menggerakkan roda
perekonomian negara, karena dari investasi tersebut akan diperoleh berbagai
manfaat, antara lain: (1) Mengalirnya devisa ke negara kita, sehingga menambah
perolehan atau pemasukan negara; (2) Menampung tenaga kerja yang berlimpah di
dalam negeri, sehingga mengurangi pengangguran yang makin hari makin meresahkan
para penyelenggara negara; (3) Terjadi alih teknologi yang mengakibatkan
peningkatan keterampilan angkatan kerja Indonesia. Dengan demikian maka secara
makro akan terjadi peningkatan kemakmuran bangsa Indone¬sia.
Undang-Undang
Penanaman Modal Dalam Negeri yang utama adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967, yang sampai saat ini masih digunakan sebagai dasar kebijakan penanaman
modal di Indonesia. Pasang surut dunia investasi dialami Indonesia sebagai
negara berkembang. Penanaman modal yang erat kaitannya dengan situasi politik.
Masa keemasan penanaman modal pernah dilalui Indonesia pada tahun 1980-an di
mana investasi lokal maupun asing mampu menggerakkan perekonomian Indonesia.
Sayang sekali masa ini telah berlalu karena kondisi internal Indonesia saat ini
tidak menggembirakan, yang ditandai antara lain: (1) Situasi politik Indonesia
yang rentan dengan pertikaian mengakibatkan para investor asing enggan untuk
datang; (2) Indonesia termasuk negara yang paling korup di Asia. Korupsi sudah
mencapai titik yang sangat memprihatinkan, karena susah sekali diberantas.
Kemauan politik melalui berbagai keputusan hukum sejak dari Tap MPRRI No VIII Tahun
2000 yang memberikan rekomendasi arah pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme sampai dengan pembentukan berbagai komisi (KPKPN) sampai Komisi
Antikorupsi, akan tetapi karena kultur bangsa kita yang sangat adaptif dengan
KKN, banyak kalangan meragukan perubahan sikap mental bangsa Indonesia menjadi
anti korupsi, sulit terwujud. Dampaknya investor enggan datang ke Indonesia,
karena KKN menyebabkab ekonomi biaya tinggi bagi mereka.
(6) Hukum
Perburuhan. Perburuhan atau ketenagakerjaan merupakan masalah pemerintahan yang
harus ditangani oleh pemerintah, karena walaupun hubungan perburuhan bersifat
perdata antara buruh atau pekerja dengan majikan, akan tetapi implikasi masalah
perburuhan akan berdampak pada perekonomian negara. Artinya, segala hal yang
berkaitan dengan perburuhan, misalnya unjuk rasa atau pemogokan buruh akan
berdampak luas dalam kehidupan politik. Sumber utama hukum perburuhan adalah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja. Salah satu
campur tangan yang dilakukan dalam rangka hu¬bungan perburuhan adalah apabila
terjadi sengketa perburuhan, harus diselesaikan lembaga tri partite yaitu pihak
buruh yang biasanya diwakili oleh Serikat Buruh atau sejenisnya, majikan dan
pemerintah.
D.
HUKUM
INTERNASIONAL
1.
Defenisi
Hukum Internasional
Hukum internasional merupakan sistem
aturan yang digunakan untuk mengatur pergaulan negara yang merdeka dan
berdaulat. J.G. Strke MendefenisikanHukum Internasonal sebagai sekumpulan Hukum
( Body of Law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena
itu biasanya ditaati dalam hubungan Negara-negara satusama lain.
2.
Sumber
Hukum Internasional
Sumber hukum dapat dibedakan menjadi
dua bagian, yaitu :
1) Sumber hukum
materil, yaitu segala sesuatu yang membahas dasar berlakunya hukum suatu
negara.
2) Sumber hukum
formal, yaitu sumber darimana kita mendapatkan atau menemukan
ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Menurut pasal 38 Piagam mahkamah
Internasional, sumber hukum formal terdiri dari:
·
Perjanjian Internasional, (traktat/Treaty)
·
Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam
praktek umum dan diterima sebagai hukum
·
Asas-asas umum hukum yang diakui oleh negara-negara
beradab
·
Yurisprudency, yaitu keputusan hakim hukum
internasional yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
·
Doktrin, yaitu pendapat para ahli hukum internasional.
3.
Dasar
Berlakunya Hukum Internasional
Ada
dua asumsi atas dasar berlakunya hukum internasional, yaitu pertama, suatu
perjanjian yang dibuat haruslah dipatuhi. Asumsi ini kemudian dalam pergaulan
internasional menjadi prinsip berlakunya hukum internasional, yang kemudian
dikenal dengan prinsip Pacta Sunt Servanda artinya, bahwa ‘setiap perjanjian
harus ditaati’. Kedua, hukum internasional memiliki derajat yang lebih tinggi
daripada hukum nasional. Prinsip hukum ini kemudian dikenal dengan ‘Prinsip
Primat Hukum Internasional’. Dengan prinsip tersebut maka suatu traktat
berderajat lebih tinggi daripada undang-undang dasar dari negara peserta
traktat.
Kedua
asumsi berlakunya hukum internasional menjadikan hukum internasional mengikat
para negara di dunia ini.
4.
Subjek
Hukum Internasional
Para
pelaku (sebagai subjek) hukum internasional adalah:
(a) Negara
(state)
(b) Gabungan
negara-negara
(c) Organisasi-Organisasi
Internasional
(d) Kursi
Suci
(e) Manusia
5.
Materi
Hukum Internasional
Pada
prinsipnya hukum internasional bermaterikan ‘hukum internasional dalam keadaan
damai’ dan ‘hukum internasional perang’. Materi hukum internasional damai
antara lain:
a) Aturan
tentang penentuan batas-batas wilayah suatu negara.
b) Aturan
tentang organ-organ yang bertindak sebagai wakil negara-negara, misalnya:
Kepala Negara, Duta, Konsul, dan sebagainya.
c) Aturan
tentang terjadinya, bekerjanya, dan hapusnya traktat
d) Aturan
tentang akibat-akibat perbuatan yang melanggar hukum internasional, seperti:
embargo, biokade, dan sebagainya.
e) Aturan
tentang kepentingan bersama yang bisa dilakukan oleh negara-negara seperti
kerja sama bidang ekonomi; pendidikan; budaya, dan sebagainya.
f) Aturan
tentang tata cara memecahkan masalah atau persengketaan, perselisihan dengan
jalan damai, misalnya dengan perundingan diplomatik, mediasi (perantaraan pihak
ketiga, baik melalui negara ataupun melalui arbitrase dan lain sebagainya).
Sedangkan
hukum internasional perang dalam istilah yang lebih populer adalah hukum
humanitair, yang mengatur tata cara diplomasi bersenjata atau tata cara
berperang secara bermartabat sebagai jalan terakhir apabila diplomasi secara
damai sudah tertutup. Dalam hukum humanitair tentang tata cara penggunaan
senjata perang yang memiliki ukuran; kaliber serta kemampuan tempur
berbeda-beda. Dalam hukum ini diatur tentang mekanisme komponen perang seperti
combatant atau pasukan tempur; tawanan perang (prisoner of war-POW-), wartawan
perang, sukarelawan yang membantu mengobati perang dan sebagainya.
6.
Implementasi
HI dalam Pergaulan Antarbangsa
Berbeda
dengan hukum nasional yang berlaku di setiap negara merdeka dan berdaulat yang
dijalankan, diawasi serta diberikan sanksi bagi yang melanggarnya oleh sistem
penyelenggaraan negara (termasuk di dalamnya penyelenggaraan hukum) secara
efektif berdasarkan organisasi penyelenggaraan negara tersebut, hukum
internasional tidak memiliki pola pelaksanaan dan pengawasan secara terpusat.
Tidak
ada satu kekuasaan terpusat pun yang dapat memaksa para negara-negara anggota
pergaulan internasional untuk menaati peraturan-peraturan yang terkandung dalam
hukum internasional. PBB bukan negara atasan (superstate) negara-negara
anggota, sehingga dalam praksis sering terjadi pengabaian atas suatu resolusi
PBB apabila keputusan organisasi internasional tersebut kurang sesuai dengan
politik negara tertentu. Utrecht (Bachsan Mustofa, 1995:114) menyatakan bahwa
pentaatan kepada hukum internasional tergantung kepada kuat atau tidaknya
status negara dalam power politics among nations (kekuatan politik negara
tersebut di antara negara-negara lainnya). Oleh karenanya bisa dipahami apabila
pada saat ini, misalnya, Amerika Serikat pasca perang dingin dengan bekas Uni
Soviet menjadi begitu kuasa dan adikuasa, sehingga cenderung berkehendak
menjadi ‘polisi dunia’ yang dengan seenaknya bisa menggunakan instrumen PBB
mengadili negara yang menurut pandangan politik internasionalnya ‘nakal’ atau
tidak taat, seperti Libya dan Irak dengan cara yang keras. Dimensi hukum
internasional berbaur dengan dimensi kepentingan lainnya, sehingga pelaksanaan
dan pengawasannya sangat tergantung pada kekuatan politik dunia. Selain itu,
arus globalisasi dunia menyebabkan pola hubungan internasional menjadi semakin
relevan untuk dilaksanakan setiap negara yang tidak ingin terkucil atau terasingkan
dalam tata pergaulan dunia. Burma yang pemerintahannya totaliter adalah contoh
bagaimana sebuah negara dikucilkan oleh dunia internasional akibat cara-cara
represif yang digunakan pemerintahannya dalam menangani oposisi yang dipimpin
oleh Aung San Su Sky.
E.
HUKUM
AGRARIA
1.
Susunan
dan Materi Undang-undang Pokok Agraria
Hukum
agraria yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria disusun berdasarkan
susunan sebagai berikut:
PERTAMA,
terdiri atas empat bab:
Bab
I mengatur tentang dasar aturan serta ketentuan pokok;
Bab
II mengatur tentang Hak-Hak atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta Pendaftaran
Tanah. Bab ini terdiri atas 12 (dua belas) bagian.
Bagian
I berisi tentang ketentuan umum, yang menyatakan antara lain:
(1) Seluruh
wilayah Indonesia adalah merupakan kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan
antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang
bersifat abadi.
(4) Berdasarkan
ketentuan Pasal 33 (3) UUD 1945 tentang bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi
(ultimate powers) dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat.
(5) Hak
menguasai oleh negara tersebut memberi wewenang untuk (a). Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut; (b). Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c). Menentukan
dan mengatur hu-bungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(6) Wewenang
yang bersumber dari hak menguasai oleh negara tersebut harus digunakan untuk
mencapai kemakmuran rakyat secara maksimal.
(7) Menguasai
oleh negara tersebut pelaksanaannya dapat diserahkan kepada daerah atau
masyarakat hukum adat, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
(8) Pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada yang dilaksanakan sesuai kepentingan nasional dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
(9) Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dalam arti penggunaan setiap hak atas
tanah harus memerhatikan kepentingan sosial serta tidak boleh merugikan
kepentingan sosial.
Bagian
II mengatur tentang Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta tentang
Pendaftaran Tanah. Pada bagian ini diatur bahwa hak-hak atas tanah yang
dimaksud Undang-Undang S ini adalah:
a) Hak
Milik,
b) Hak
Guna Usaha,
c) Hak
Guna Bangunan,
d) Hak
Pakai,
e) HakSewa,
f) Hak
Membuka Tanah,
g) Hak
Memungut Hasil Hutan,
h) Hak-hak
lain yang tidak termasuk dalam hak-hak ter-sebut di atas. Sementara hak atas
air dan ruang angkasa terdiri atas:
a. Hak
Guna Air,
b. Hak
Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, serta
c. Hak
Guna Ruang Angkasa.
Bagian
III mengatur tentang Hak Milik;
Bagian
IV mengatur tentang Hak Guna Usaha;
Bagian
V mengatur tentang Hak Guna Bangunan;
Bagian
VI mengatur tentang Hak Pakai;
Bagian
VII mengatur tentang Hak Sewa untuk Bangu-nan;
Bagian
VIII mengatur tentang Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan;
Bagian
IX mengatur tentang Hak Guna-Air; Pemeliha-raan dan Penangkapan Ikan;
Bagian
X mengatur tentang Hak Guna-Ruang-Angkasa;
Bagian
XI mengatur tentang Hak-hak Tanah untuk Ke-perluan Suci dan Sosial;
Bagian
XII ketentuan Iain-lain.
Bab
III mengatur tentang Ketentuan Pidana;
Bab
IV mengatur tentang Ketentuan Peralihan;
KEDUA,
mengatur tentang ketentuan konversi, yang terdiri atas sebelas pasal. Pada
prinsipnya ketentuan konversi mengatur mekanisme konversi hak-hak atas tanah
yang pada saat sebelumnya didasarkan atas hak atas tanah yang berpijak pada
konsep barat seperti hak eigendom, hak hypotheek., servituut, vruchtgebruik,
hak erpacht, hak opstal serta hak atas tanah yang berpijak pada aturan hukum
adat seperti hak gogolan, pekulen atau sanggan, dengan berlakunya undang-undang
ini secara otomatis menjadi hak-hak atas tanah yang berdasarkan aturan UUPA
ini, seperti hak milik, hak pakai, hak guna usaha dan seterusnya.
KETIGA,
mengatur tentang perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan
perombakan hukum agraria menurut undang-undang ini akan diatur tersendiri.
Dalam perkembangan hukum berikutnya; telah diciptakan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Desa yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, yang dalam perkembangan
berikutnya pada masa reformasi telah diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
KEEMPAT,
mengatur tentang hak-hak dan wewenang atas bumi air dari Swapraja atau bekas
Swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang-undang ini dihapus dan
beralih kepada negara. Tentang hal ini, mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta,
berdasarkan ketentuan Pasal 4 (4) Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 (tentang
Statuta DIY); yang menentukan bahwa urusan agraria yang merupakan urusan rumah
tangga D1Y yang diker-jakannya sebelum dibentuk menurut undang-undang tersebut
dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang (Boedi Harsono,
2000:26).
KELIMA,
mengatur tentang nama undang-undang ini sebagai Undang-Undang Pokok Agraria dan
masa berlakunya sejak diundangkannya undang-undang ini, yakni pada tanggal 24
September 1960.
2.
Isu-isu
Utama dalam Masalah Keagrariaan
Masalah-masalah
yang mendasar yang muncul mengiringi berlakunya hukum agraria (Abdurrahman,
1985) antara lain:
(1)
Masalah pendaftaran tanah dan
pelaksanaannya
Pendaftaran
tanah merupakan upaya negara atau pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian
hukum atas kepemilikan tanah bagi pemegang hak milik tanah. Selain itu juga
merupakan upaya fiscal cadastre yaitu kepentingan negara untuk pemungutan pajak
tanah. Sampai saat ini publikasi resmi tentang pendaftaran tanah telah
disebarluaskan kepada rakyat Indonesia agar sesegera mungkin melaksanakan
pendaftaran tanah miliknya. Program pendaftaran tanah secara nasional yang disebut
Program Agraria Nasional (PRONA) pada tahun 1980-an serta awal 1990-an telah
digulirkan dengan pemberian fasilitas secara kolektif dalam pen¬daftaran tanah.
Akan tetapi tingkat kesadaran rakyat untuk mendaftarkan tanahnya, masih cukup
memprihatinkan, karena kemampuan rakyat pada umumnya sangat rendah, sehingga
sampai saat ini hasil dari pelak-sanaan pendaftaran tanah masih belum merata.
(2) Masalah
Landreform
Program
landreform oleh masyarakat Indonesia disikapi secara kontroversial. Di satu
pihak land dianggap sebagai program penyelamat rakyat yang mengalami kesulitan
memiliki tanah dan oleh karenanya harus dilaksanakan segera dan secara luas. Di
pihak lain menganggap program landreform sebagai program tanpa arti, hanya
sedikit pihak yang bisa menikmatinya, atau bahkan program ini dianggap sebagai
program komunis (PKI).
Sebagai
suatu program pertanahan secara nasional, landreform yang pada prinsipnya
merupakan program perombakan mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah serta
hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah (2000:350).
Tujuan
utama landreform antara lain: (1) Pembagian ta¬nah yang adil kepada rakyat; (2)
Tanah untuk tani, bukan sebagai objek spekulasi dan pemerasan; (3) Memperkuat
hak milik tanah bagi bangsa Indonesia; (4) Pengakhiran sistem ‘tuan tanah’ dan
pembatasan kepemilikan tanah, karena tanah berfungsi sosial; (5) Mempertinggi
produktivitas nasional melalui tanah sebagai basisnya. Program landreform
meliputi:
(a) Pembatasan
luas maksimum penguasaan tanah.
(b) Larangan
kepemilikan secara ‘absentee’ atau ‘guntai’;
(c) Redistribusi
tanah bagi tanah yang selebihnya dari tanah absentee, swapraja atau tanah
negara;
(d) Pengaturan
soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;
(e) Pengaturan
kembali perjanjian bagi hasil tanah per¬tanian;
(f) Penetapan
luas minimum pemilikan tanah perta¬nian.
(3) Masalah
Pewarisan Tanah
Pewarisan
merupakan salah satu masalah hukum yang sangat krusial, karena sistem
pluralisme yang berlaku atasnya (banyak faset hukum yang bisa diberlakukan
atasnya). Daniel S. Lev (1985:146) menyatakan, bahwa tak ada masalah hukum yang
paling memusingkan di Indonesia selain masalah waris. UUPA tidak secara tegas
mengatur mekanisme pewarisan tanah. Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan
tanah, antara lain Pasal 23 (1) tentang hak milik, Pasal 19 tentang keharusan
pendaf-taran tanah dan Pasal 26 tentang jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk pemindahan
hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. Berlakunya
Pasal 58 yang menyatakan bahwa selama peraturan-peraturan pelaksanaan belum
terbentuk, maka peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, memberi peluang bagi hukum
kewarisan lama yang bersifat pluralisms tetap berlaku.
Ada
beberapa peraturan perundangan yang memberikan pengaturan tentang pewarisan,
antara lain
(1) Undang-Undang
No. 56/Prp/1960 Pasal 9, tentang pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali
pembagian warisan, dilarang bila menimbulkan berlangsungnya kepemelikan tanah
yang luasnya kurang dari 2 hektar. Ketentuan ini juga memberi peluang hukum
pewarisan lama yang pluralis¬ms
(2) Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, pada Pasal 20 tertera
bahwa: (a) Jika orang yang mempunyai hak atas tanah meninggal dunia, maka yang
menerima tanah itu sebagai warisan wajib meminta pendaftaran peralihan hak
tersebut dalam waktu 6 bulan sejak tanggal meninggalnya orang itu; (b) Menteri
Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya dapat memperpanjang waktu tersebut
pada ayat 1 pasal ini berdasarkan pertimbangan khusus. Dalam Pasal 23 peraturan
yang sama, dinyatakan bahwa: (a) Untuk pendaftaran peralihan hak karena
pewarisan mengenai tanah yang telah dibukukan maka kepada kepala kantor
pendaftaran tanah harus diserahkan sertifikat hak atas tanah itu beserta wasiat
dan jika tidak ada wasiat, surat keterangan warisan dari instansi yang
berwenang; (b) Setelah peralihan hak tersebut dicatat dalam buku daftar tanah,
maka sertifikat itu dikembali kepada ahli waris. Pasal 41 yang merupakan
ancaman bagi kealpaan para ahli waris untuk melaksanakan Pasal 20 dengan denda
yang nilainya disesuaikan harga tanah (dulu Rp 20 dan berturut-turut menjadi Rp
25 setiap bulan keterlambatan). Aturan tersebut merupakan langkah administrasi
penertiban proses pewarisan yang sampai saat ini ternyata masih banyak
diabaikan dalam prasis pewarisan kita.
(4) Masalah
Perlindungan Hak Warga Masyarakat dalam Pembebasan Tanah di Wilayah Perkotaan
Persoalan
tanah; baik di perkotaan maupun di pedesaan adalah persoalan yang senantiasa
rumit dan bersifat multikompleks. Pembangunan perkotaan di Indonesia selalu
dihadapkan dengan masalah kepemilikian tanah bagi warganya. Di satu pihak
pemerintah kota berke-inginan untuk memperbesar, memperindah kota serta
meningkatkan berbagai fasilitas bagi warganya, di lain pihak warga kota juga
memiliki hak untuk hidup dan berkembang wajar, termasuk memiliki hak untuk
me¬miliki tanah dan tempat tinggal. Masalah yang sering muncul adalah
berbenturannya dua kepentingan di atas. Kepentingan pemerintah untuk melakukan
pembebasan tanah bagi perluasan dan peningkatan fungsi perkotaan sering
berhadapan secara tajam dengan penolakan masyarakat yang tergusur.
Masalah
ini timbul sebagai akibat dari:
(a) Penetapan
harga tanah yang tidak sesuai dengan keinginan warga.
(b) Terjadi
praksis manipulasi harga oleh oknum aparat sehingga memperkeruh program secara
keseluruhan.
(c) Kurangnya
publikasi dan sosialisasi program perko-taan yang baik; termasuk program
penataan kota (planologi kota) yang mestinya dipahami warga kota, sehingga bisa
diantisipasi sejak dini dalam perolehan tanah dan tempat tinggal.
Dalam
tataran praksis pembebasan tanah di perkotaan menimbulkan persoalan yang
serius, antara lain:
(a) Dilakukan
secara semena-mena oleh aparat sehingga menimbulkan gejolak sosial perkotaan
(b) Timbul
trauma masyarakat perkotaan bahwa hak warga diperlakukan secara
sewenang-wenangan tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia.
(5) Masalah
Hak Adat Pertanahan
Dalam
masa reformasi, seiring dengan menguatnya otonomi daerah, makin kuat pula
desakan agar hak adat pertanahan di daerah segera diselesaikan, yang
diakibatkan oleh kebijakan pertanahan masa lalu (pada masa Orde Baru) yang
eksesif di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Papua, (Maria R. Ruwiastuti
(2000: 56) pedalaman Kalimantan, Sumatera (Aceh) dan berbagai daerah lain yang
menimbulkan gejolak pertanahan adalah bagian dari kebijakan politik secara makro
maupun politik agraria khususnya.
F. HUKUM ADAT
Hukum
adat adalah sistem aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat indonesia yang
berasal adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati dan ditaati oleh
masyarakat sebagai tradisi bangsa indonesia.
1.
Sumber
Hukum Adat
Sumber
hukum adat di Indonesia berdasarkan pandangan para pakar hukum adat (1993)
adalah kebiasaan dan adat istiadat yang berkaitan dengan tradisi rakyat
(Cornells Van Vollenhoven), uger-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang
langsung timbul sebagai pernyataan kultural orang Indonesia asli (Djojodiguno),
rasa keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat (Soepomo) atau budaya
tradisional rakyat Indonesia (Barend Ter Haar).
Secara
lebih terinci, sumber hukum adat dalam arti segala sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai tempat mencari hukum adat adalah:
a) Pepatah-pepatah
adat baik yang tersurat maupun tersirat merupakan prinsip-prinsip hukum adat
yang menjadi pegangan hidupan masyarakat Indonesia.
b) Yurisprudensi
adat, yaitu keputusan-keputusan hakim yang berkaitan dengan masalah atau
sengketa adat.
c) Dokumen-dokumen
yang memuat ketentuan yang hidup pada suatu masa tertentu ketika hukum adat
menjadi hukum positif secara nyata (pada zaman keemasan kerajaan), baik yang
berwujud piagam-piagam, peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan.
d) Buku
undang-undang yang dikeluarkan oleh raja-raja.
e) Laporan-laporan
hasil penelitian tentang hukum adat.
f) Buku
karangan ilmiah para pakar hukum adat yang menghasilkan doktrin atau tesis
tentang hukum adat.
2.
Sejarah
Hukum Adat
a.
Sejarah
Penemuan Hukum Adat
1)
Zaman
Sebelum VOC Datang ke Nusantara
Zaman atau
masa ini ditandai oleh kedudukan hukum adat sebagai hukum
positif, yang berlaku sebagai hukum yang nyata dan ditatai oleh rakyat di
berbagai kerajaan yang hidup dan berkembang di kepulauan yang berserakan antara
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Naskah hukum adat yang lahir pada waktu
itu antara lain dibuat pada Raja Dharmawangsa, tahun 1000 Masehi, berupa Kitab
Ciwakasoma, pada masa kerajaan Majapahit berupa Kitab Hukum Gadjahmada
(1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih kanaka (1413-1430). Di Bali
ditemukan Kitab Hukum Kutara-manawa. Selain itu ditemukan adanya bukti
peraturan-peraturan asli lainnya seperti di Tapanuli ditemukan Kitab Ruhut
Parsaoran di Habatahon (berisi kehidupan sosial di tanah Batak), di Jambi
ditemukan Undang-Undang Jambi, di Palembang ditemukan Undang-Undang Simbur
Cahaya, di Minangkabau ditemukan Undang-Undang Nan Duapuluh. Di Sulawesi
Selatan ditemukan Undang-Undang Perniagaan dan Pelayaran dari suku Bugis Wajo,
di Bali ditemukan Awig-Awig (yang berisi peraturan Subak dan Desa, yang sampai
kini tetap lestari).
Pada masa
tersebut telah dikeluarkan peraturan-per-aturan kerajaan atau kesultanan yang
pernah bertahta, antara lain: Kediri, Singosari, Mataram, Majapahit, De-mak,
Pajang, Mataram II, Pakubuwono, Mangkunegoro, Paku Alam, Tarumanagara,
Pajajaran, Jayakarta, Banten, Cirebon, Sriwijaya, Indragiri, Asahan, Serdang,
Langkat, Deli, Aceh, Pontianak, Kutai, Bulungan, Goa, Bone. Bolaang Mongondow,
Talaud, Ternate, Tidore, Kupang, Bima, Sumbawa, Endeh, Buleleng, Badung,
Gianyar, dan sebagainya. Pada masa itu perhatian orang-orang barat atau orang
asing lain belum ada.
2)
Zaman VOC
(tahun 1602-1800)
Zaman ini
ditandai oleh perhatian orang asing (Barat) terhadap hukum adat, baik karena
tugas jabatannya maupun karena kehendak pribadi untuk memahami keberadaan hukum
adat. Melihat tulisan mereka pada masa itu mayoritas bersifat catatan
perjalanan dan bersifat perorangan, misalnya Robert Padtbrugger tentang adat
istiadat Minahasa (1679), Francois Valentijn berjudul Oudennieuw Oost Indien
(1666-1727). Beberapa tulisan bersifat usaha kodifikasi hukum adat, yang
ditulis oleh praktisi, yakni: a. Kitab Hukum Mogharraer (1750) yang memuat
hukum pidana Islam yang terjadi di landiaad Semarang. b. Kitab Bosschenar Jan
Dirk Van Clootswijck, tentang hukum adat di kerajaan Bone dan Goa (1755). C.
Kitab Hukum PC Hasselaer yang berisi tentang hukum adat di Cirebon “Papakem
Cirebon”. Beberapa tulisan hukum adat lain yang ditulis oleh penulis-penulis
barat yang menggambarkan perhatian terhadap hukum adat.
3)
Zaman
Perintis (tahun 1783-1865)
Zaman ini
ditandai oleh metode penulisan hukum adat yang didahului atau disertai dengan
penyelidikan terhadap hukum adat, sehingga bobot tulisannya lebih bernilai
ilmiah. Perintis metode penulisan dengan penyelidikan pada masa ini antara
lain:
a)
William Marsden (1836), seorang pegawai pamong praja
Inggris yang melakukan penelitian hukum adat dengan hasil penelitiannya yang ternal
The History ofSumatera.
b)
Thomas Stanford Raffles (1816) yang berhasil menulis
buku The History of Java.
c)
John Crawford (1868) yang menulis The History of Indian
Archipelago.
d) Daendels;
yang memiliki perhatian terhadap hukum acara adat dan pidana Islam, terutama di
pesisir utara Jawa serta berbagai penulis lain yang memberikan perhatian
terhadap hukum adat Indonesia.
4)
Zaman Penemuan
Hukum Adat (1865-1926)
Masa ini
ditandai oleh perhatian terhadap hukum adat secara lebih mendalam melalui
perhatian, peninjauan dan penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik
kalangan pamong praja, parlemen ataupun ahli dan praktisi hukum dengan
pendalaman perhatian pada bidang-bidang hukum adat yang beraneka. Kalangan
pa¬mong praja berminat terutama pada masalah organisasi masyarakat desa dan
tata negara adat, kalangan parlemen mempunyai perhatian terhadap soal agraria,
kalangan ahli hukum memiliki perhatian terhadap hukum kekayaan, hukum
perjanjian dan hukum pidana adat, sementara kalangan misionaris berperhatian
pada masalah hukum keluargaan dan hukum waris. Wilkens (1891) menulis banyak
buku tentang hukum adat di Minahasa, Buru, Gorontalo, Mandailing dan Sipirok.
Albert Liefrink me¬nulis tentang berbagai hukum adat di Bali, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Lombok (1878-1901). Snouck Hurgronye alias Abdul Gaffar yang tenar
dengan tesisnya de Atjehers, merupakan beberapa ahli yang memelopori penulisan
hukum adat dengan metode dan ruang lingkup yang lebih mendalam.
b.
Sejarah
Politik Hukum Adat
Sejarah
politik hukum adat
di Indonesia, oleh Soepomo dibagi atas 5 tahap dan Bushar Muhammad (1993:40)
ditambah 2 periode lagi, yakni:
1.
Masa VOC atau Masa Kompeni
Masa ini
ditandai oleh kebijakan Kompeni terhadap hukum adat dengan cara saling
menghormati. Pada awalnya Kompeni hanya menggunakan hukum barat (Belanda) untuk
daerah pusat pemerintahan Kompeni, sedangkan pada daerah yang belum dikuasai, dipersilahkan
bagi pendudukan untuk menggunakan hukum adat mereka, atau bagi yang mau tunduk
pada hukum Belan¬da, diperbolehkan. Namun jika mereka akan melakukan hubungan
hukum dengan Kompeni, mereka harus menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain,
politik hukum Kompeni bersifat oportunistis;
2.
Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811)
Pada masa ini
Daendels mengambil sikap jalan tengah atau kompromistis. Artinya, hukum adat
masih diper-bolehkan dianut oleh penduduk bumi putera, dengan syarat:
a) Hukum
adat tidak bertentangan dengan kepenti ngan umum.
b) Hukum
adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan kepatutan (dalam ukuran
barat).
c) Hukum
adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum. Dengan persyaratan tersebut
tampak bahwa pemerintahan Deandels menganggap rendah kedu-dukan hukum adat
dibanding Hukum Belanda.
3.
Masa Pemerintahan Raffles (1811-16)
Raffles
menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar terhadjap
golongan pribumi, untuk menarik simpati dan ini merupakan sikap politik Inggris
yang humanistis.
4.
Masa 1816-1848
Pada masa ini
kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu
itu mulai memperkenalkan dan menganut prinsip unifikasi hukum untuk seluruh
wilayah jajahannya. Dengan catatan bahwa terjadi pengecualian berlakunya hukum
adat oleh bumi putera. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa secara prinsip
hukum adat mulai terdesak oleh berlaku¬nya hukum Hindia Belanda, akan tetapi
dalam praksis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dengan
hukum barat.
5.
Masa 1848-1928
Tahun 1848
merupakan tahun yang amat penting dan menentukan bagi sejarah hukum Indonesia,
karena me-lalui suatu komisi hukum yang diketuai oleh CJ Scholten van Oud
Harlem telah berhasil tersusun suatu kodifikasi hukum yang mengacam keberadaan
hukum adat sebagai hukum positif, berupa
(1) Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (dikenal dengan singkatan AB),
setingkat dengan UUD Hindia Belanda pada waktu itu;
(2) Burgerlijk
Wetboek voor Nederlands Indie (BW atau KUH Perdata Hindia Belanda);
(3) Reglement
op de Rechtelijke Organizatie en het Beleid der Justitie in Nederlands Indie
(Peraturan Umum tentang Peradilan Hindia Belanda); serta
(4) Reglement
op de Uitoefening van de Politie Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering
onder de Inlanders en de Vree Ostertlingen (Peraturan Umum tentang acara
perdata dan pidana bagi Bumi Putera). Dengan pemberlakuan keempat peraturan
perundangan tersebut, bisa dikatakan bahwa pergeseran hukum adat ke dalam hukum
barat secara nyata telah dimu-lai dan hukum barat telah hadir mengiringi proses
penjajahan secara yuridis.
6.
Masa tahun 1928-1945
Masa ini
adalah masa penting bagi hukum adat, karena peradilan adat (Adat Kamer) dibuka
pada tanggal 1 Januari 1938 pada Raad van Justitie di Batavia, yang memiliki
tingkat kewenangan mengadili perkara-perkara hukum perdata adat pada tingkat
banding untuk daerah: Jawa, Palembang, Jambi, Bangka, Belitung, Bali, dan
Kalimantan. Pada masa ini pula dihasilkan beberapa peraturan yang secara
implisit memberi tempat dalam hukum adat baik dalam bidang pemerintahan maupun
dalam bidang per¬adilan umum dan agama.
7.
Masa 1945 – sekarang
Pada masa ini
hukum adat diakui secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar dengan
persyaratan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, sebuah persyaratan
yang syarat dengan nuansa politis. Artinya hukum adat ditempatkan pada posisi
sejajar dengan hukum lain, akan tetapi dalam tataran praksis sering
dipinggirkan apabila kepentingan-kepentingan lain yang mendesak harus didahulukan.
Dalam praksis pemerin-tahan dan penyelenggaraan negara, hukum adat tetap
diperhitungkan, misalnya dalam hukum agraria (UUPA), akan tetapi dalam
kenyataan sering dianggap kurang memberikan jaminan kepastian hukum dan
akhirnya tidak dijadikan pilihan utama dalam penyelesaian pertanahan.
Hukum adat sebagai hukum yang secara turun temurun diwariskan nenek moyang kepada generasi berikutnya memiliki nilai-nilai universal (Soepomo dalam Soerya, 1993: 60). Nilai-nilai tersebut antara lain adalah
Hukum adat sebagai hukum yang secara turun temurun diwariskan nenek moyang kepada generasi berikutnya memiliki nilai-nilai universal (Soepomo dalam Soerya, 1993: 60). Nilai-nilai tersebut antara lain adalah
(1) Prinsip
gotong royong;
(2) Fungsi
sosial manusia dan hak milik dalam kehidupan sosial;
(3) Prinsip
persetujuan atau kesepakatan sebagai dasar kekuasaan negara, serta
(4) Prinsip
perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.
Dalam rangka
memahami hukum adat, kita harus bertolak dari cara berpikir rakyat Indonesia
yang pada umumnya sangat berpegang teguh pada sikap:
(1) Cosmis,
dalam arti pada umumnya manusia Indo¬nesia menempatkan diri sebagai bagian dari
alam semesta yang serba gaib dan misted (religio magis partisiperen cosmis).
(2) Contant,
dalam arti manusia Indonesia melalui hukum adat sangat menghargai dan
menghormati suatu perbuatan yang sangat segera dari yang diucapkan atau
diperjanjikan. Dalam perjanjian jual beli; harus segera dilaksanakan penyerahan
barang.
(3) Concret,
dalam arti manusia Indonesia melalui hukum adat sangat menjunjung tinggi
perbuatan nyata dari apa yang dikatakan. Dalam hubungan pertunangan, misalnya,
jika sudah terjadi kesepakatan pertunangan, harus diujudkan dalam bentuk makan
sirih atau penyerahan suatu barang tertentu sebagai tanda kesepakatan.
(4) Communal,
dalam arti hukum adat sangat mengutamakan kepentingan umum dari kepentingan-kepentingan
lainnya. Masyarakat Indonesia menyikapi keberadaan hukum adat dari praksis
pelaksanaan dan penegakan hukum secara keseluruhan, dengan pandangan yang
berbeda-beda.
Pertama, Hukum adat harus tetap
dipertahankan karena memiliki persyaratan untuk menjadi hukum nasional yaitu
bersifat dinamis serta berasal dari hasil penggalian mendalam secara
berabad-abad. Sikap ini ditampilkan, terutama oleh kaum budayawan, para
pemangku adat serta para pemerhati hukum adat.
Kedua, Hukum adat tidak bisa
dijadikan hukum utama Indonesia bahkan secara ekstrem ada yang berpandangan
hukum adat tidak bisa dijadikan dasar hukum negara dan oleh karenanya harus
ditolak keberadaannya, karena sifat tidak tertulis sulit dijadikan rujukan
serta pedoman dalam menggali sumber hukum. Hukum tertulis menjadi pilihan utama
karena jelas sumbernya, walaupun untuk mengubahnya butuh waktu, tenaga serta
biaya yang tidak sedikit. Sikap ini pada umumnya diungkapkan oleh kaum praktisi
hukum yang terpengaruh paham Konti-nentalisme (Eropa Daratan), yang
mengagungkan paham hukum tertulis.
Ketiga, Hukum adat bisa dijadikan rujukan secara selektif berdampingan dengan hukum tertulis lainnya, karena keduanya nyata hidup di Indonesia.
Ketiga, Hukum adat bisa dijadikan rujukan secara selektif berdampingan dengan hukum tertulis lainnya, karena keduanya nyata hidup di Indonesia.
BAB III
HUKUM, PERUBAHAN, DAN PENEGAKANNYA
A.
HUKUM
DAN PERUBAHANNYA
Hukum
sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Indonesia, senantiasa
dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis seiring dengan
perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, sosial
maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan
masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan
keadaan yang telah berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia
Indonesia (Mochtar Kusumaat-madja, 1976:6).
Tamsil
tentang alam pikiran manusia Indonesia tentang perubahan hukum adalah adanya
pepatah Minangkabau sakali aia gadang, sekali tapian beranjak (sekali air besar
sekali tepian sungai berkisar). Ini berarti bahwa hukum (adat) berubah
mengikuti keadaan masyarakat.
Perubahan
itu harus tetap ada kaitannya dengan kondisi lama, seperti pepatah walaupun
baranjak, dilapiak sa’alai juo (walaupun beranjak atau berupah masih ditikar
(dalarn konsep) yang sama). Agar hukum (adat) itu tetap muda (mengikuti zaman)
maka harus disesuaikan atau menye-suaikan diri dengan keadaan. Lihat pepatah
“usang-usang dipabaharui, lapuak-lapuak dikajangi. Nan elok dipakai, nan buruak
dibuang. Ko’singkek minta minta diuleh, panjang minta dikarek nan numpang minta
disisit.” Dari pepatah tersebut menggambarkan bahwa alam pikiran hukum (adat)
sendiri, yang tidak menolak, perubahan atau pembaruan, bahkan sebaliknya. Hal
ini sesuai dengan pepatah Minang lainnya “Adat dipakai baru kain dipakai
usang”.
Dalam
paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran Pragmatic Legal Realism
yang dipelopori antara lain oleh Roscou Pond memiliki keyakinan bahwa hukum
adalah ‘a tool of social engineering’ atau ‘alat pembaruan masyarakat’ atau
menurut Mochtar Kusumatmadja ‘sarana perubahan masyarakat’, dalam konteks
perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih luas, yang
berorientasi pada:
(1) Perubahan
hukum melalui peraturan perundangan yang lebih bercirikan sikap hidup serta
karakter bangsa Indo¬nesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia
sebagai warga dunia, sehingga ke depan akan terjadi transformasi hukum yang
lebih bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa yang
positif).
(2) Perubahan
hukum harus mampu membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri,
bermartabat dan terhomat dimata pergaulan antarbangsa, karena hukum bisa
dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan bangsa yang efektif (Satjipto
Rahardjo: 1981:124).
Perubahan
hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan oleh
penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan eksekutif) melalui
penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan
baik yang berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun
kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai lembaga yang
memiliki komitmen tentang pembaruan dan pembinaan hukum, sehingga mampu mengisi
kekosongan atau kevakuman hukum dalam berbagai segi kehidupan.
Dengan
perencanaan yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep
pembangunan hukum di Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmaja harus
dilakukan dengan jalan:
a) Peningkatan
dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan
pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan
jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat;
b) Menertibkan
fungsi lembaga hukum menurut propor-sinya masing-masing;
c) Peningkatan
kemampuan dan kewibawaan penegak hukum;
d) Memupuk
kesadaran hukum masyarakat serta
e) Membina
sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/negara ke arah komitmen yang
kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia.
B.
PENEGAKAN
HUKUM
Penegakan
hukum adalah salah satu persoalan yang serius bagi bangsa indonesia. Penegakan
hukum sebagai usaha semua kekuatan bangsa, menjadi kewajiban kolektif semua
komponen bangsa (dan ini sekaligus merupakan ralat bahwa hukum hanya boleh
ditegakkan oleh golongan-golongan tertentu saja) antara lain:
(1) Aparatur
negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk itu seperti polisi, hakim,
dan jaksa, yang dalam dunia hukum disebut tiga pendekar hukum.
(2) Pengacara
(3) Para
eksekutif
(4) Masyarakat
pengguna jasa hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri,
Ilhami. Cetakan ke 5, 2010. Sistem Hukum
Indonesia. Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar